Suwarsono Muhammad, mahasiswa pascasarjana Program Doktoral Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), yang pada Rabu (24/7) baru saja melaksanakan Pengukuhan Kelulusan Doktor dengan luaran publikasi jurnal internasional bereputasi, mendapat nilai sempurna dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.00, dan mendapat predikat suma-cumlaude.
Suwarsono yang merupakan dosen mata kuliah Manajemen Strategis, Universitas Islam Indonesia (UII) ini mengangkat isu “Kapitalisme Religius: Peradaban Islam Masa Depan”. Dia menyebutkan bahwa peradaban Islam dunia saat ini mengalami stagnantasi, dan tidak terlihat ada indikator signifikan yang menandakan bahwa Islam dapat mulai bangkit kembali. Menurutnya, dinamika sejarah berjalan landai dan regular, tidak terlihat adanya kemajuan bahkan terlihat memburuk.
“Pada masa kejayaannya dahulu, peradaban Islam mewujud dalam bentuk imperium kuno yang bersifat formal, ekspansif secara militer dan politik, ekonomi dan teknologi maju, dan memiliki keunggulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Setelah merosot, yang tersisa adalah negara jajahan, negara terbelakang, atau paling tinggi sebagai negara berkembang,” resah Suwarsono, Kamis (25/7).
Setidaknya apakah Islam tidak ingin meniru strategi yang dilakukan China. Lanjutnya, China sebagai negara dan peradaban yang mungkin akan menjadi pemegang hegemoni dunia, dengan adanya pergeseran peta geopolitikonomi yang amat jarang terjadi dalam sejarah dunia. Bahkan pada tahun 2007/2008 Amerika Serikat (AS), mengalami penurunan kedigdayaan, yang bukan tidak mungkin AS akan mengalami penerunan posisinya sebagai pemegang hegemoni dunia, dan China dapat merebut posisi tersebut.
“Tidakkah peradaban Islam dapat meniru dan mengadopsi strategi yang telah dipilih dan diimplementasikan secara gemilang oleh China? Adakah yang keliru dengan strategi yang telah dipilih?,” tanyanya.
Meski demikian, tuturnya, Islam sudah lama mengadopsi strategi di luar jalur arus utama, baik secara politik ataupun ekonomi. Dapat dilihat pada tahun 1940an, negara Islam berhasil merdeka secara politik, tetapi juga gagal dalam masalah ekonomi. Meskipun demikian, Islam masih tetap menggunakan moda pembangunan yang sama dengan Arab Kuno, yakni Kapitalisme Religius, yang dimodifikasi secara signifikan.
“Setelah Islam datang, kapitalisme perdagangan tetap berkembang di samping tumbuhnya masjid-masjid. Hak pribadi dilindungi dan tidak ada larangan melakukan akumulasi dana. Kaum borjuis tumbuh subur. Dilihat dari banyaknya aturan yang dibuat dan diimplementasikan, tidakkah justru lebih cocok pada masa sekarang, ketika kapitalisme negara sedang naik daun,” imbuh Suwarsono.
Suwarsono mengatakan, jika Islam mampu membangun kembali peradaban, maka tidaklah mungkin berwujud sebuah imperium modern yang berbeda dengan imperium kuno. Karena berperilaku secara informal dan tidak ekspansif secara militer, dan berdiri setara dengan mitra negara-negara lain. Sebagai tandanya, terdapat keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, sehingga menjadi tempat belajar bagi negara-negara lain.
“Alternatif kedua, perwujudannya dapat berupa sebuah negara kecil – bukan merupakan sebuah imperium modern – yang independen secara ekonomi dan sekaligus memiliki derajat ketimpangan yang rendah, unggul dalam teknologi yang spesifik, yang negaranya dikelola dengan mengikuti prinsip tata kelola yang bersih. Lebih dekat dengan bentuk negara kesejahteraan modern (modern welfare state). Ada keseimbangan antara peran negara dan pasar,” tutup Suwarsono. (Eva/Humas)